Sejarah Desa

Pada zaman dahulu, menurut tokoh masyarakat setempat, Desa Tunggulsari terdiri dari 3 dusun, yaitu Karangturi, Karangtawang, dan Tunggul. Masyarakat menjadi nelayan karena TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dipindahkan ke Tayu, sehingga akhirnya sebagian besar masyarakatnya juga ikut pindah ke Tayu. Pada masa penjajahan Jepang, banyak orang yang tertindas sampai akhirnya datang Mbah Demang Sali (Syech Hasan Ali) dari daerah Banten dan mengubah dukuh tunggul menjadi Tunggulsari.

Setelah itu, Mbah Demang Sali menikah dengan Mbah Ngadinah yang berasal dari Desa Kajen. Pada suatu hari, Mbah Demang Sali kedatangan tamu pria dan tamu tersebut ingin merokok, tetapi lupa membawa korek api. Tamu tesebut meminjam korek api kepada Mbah Demang Sali untuk menghidupkan rokoknya. Akan tetapi, Mbah Demang Sali tidak mempunyai korek api. Lalu, dengan kesaktian Mbah Ngadinah, beliau langsung mengeluarkan dari balik bajunya kayu yang ada apinya kepada tamu tersebut dan orang Jawa menyebutnya “Mowo”. Mbah Demang Sali melihat istrinya yang begitu sakti, sehingga Mbah Demang Sali memutuskan untuk bertapa di laut dengan memakai pakaian dari lulang kerbau (kulit kerbau), sehingga masyarakat Desa Tunggulsari tidak boleh memelihara kerbau karena menghormati sesepuhnya, yaitu Mbah Demang Sali. Mbah Demang Sali bertapa di laut selama beberapa tahun dengan bantuan Ikan Lemadang, ikan tersebut mendorong Mbah Demang Sali sampai ke pinggir laut, dan dari kejadian itu masyarakat Desa Tunggulsari tidak boleh memakan Ikan Lemadang.

 

cr: kkntim2undip2023